MAKALAH
MENJAGA
LOKALISME BUDAYA BANGSA DITENGAH GLOBALISASI
Disusun
Oleh :
Nama
: Fikri Abdillah Gani
Kelas
: 1EB42
NPM
: 24214211
KATA
PENGANTAR
Segala puji kita
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dengan adanya penyusunan makalah seperti ini, segala
penjelasan mengenai hubungan budaya bangsa dengan globalisasi dapat tercatat
dengan rapi dan dapat kita pelajari.
Bersama ini saya
juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya tugas ini, terutama kepada Dosen Ilmu Budaya Dasar yang telah memberikan
banyak saran, petunjuk dan dorongan dalam melaksanakan tugas ini, juga
rekan-rekan semua. Semoga segala yang telah kita kerjakan merupakan bimbingan
yang lurus dari Yang Maha Kuasa.
Dalam penyusunan
tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran
sangat saya harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan tugas ini dan untuk
pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang lain di masa
mendatang. Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan
kita dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Tangerang 12 Desembar 2014
Penulis
Globalisasi kini telah menjadi sebuah fenomena
yang tak terelakkan.
Semua
golongan, suka atau tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa globalisasi
merupakan
sebuah virus
mematikan yang bisa berpengaruh buruk pada pudarnya eksistensi budaya-budaya lokal atau sebuah obat mujarab yang dapat
menyembuhkan penyakit-penyakit tradisional yang berakar pada kemalasan, kejumudan, dan ketertinggalan.
Karena globalisasi diusung oleh negara-negara maju yang memiliki budaya berbeda
dengan negara-negara berkembang, maka nilai-nilai Barat bisa menjadi ancaman bagi kelestarian
nilai-nilai lokal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. aktor utama dalam proses globalisasi masa
kini adalah negara-negara maju. Mereka berupaya mengekspor nilai-nilai lokal di
negaranya untuk disebarkan ke seluruh dunia sebagai nilai-nilai global.
Mereka dapat dengan mudah melakukan itu karena
mereka menguasai arus teknologi informasi dan komunikasi lintas batas
negara-bangsa. Sebaliknya, pada saat yang sama, negara-negara berkembang tak
mampu menyebarkan nilai-nilai lokalnya karena daya kompetitifnya yang rendah.
Akibatnya, negara-negara berkembang hanya menjadi penonton bagi masuk dan berkembangnya
nilai-nilai negara maju yang dianggap nilai-nilai global ke wilayah negaranya.
Bagi Indonesia, merasuknya nilai-nilai Barat
yang menumpang arus globalisasi ke kalangan masyarakat Indonesia merupakan
ancaman bagi budaya asli yang mencitrakan lokalitas khas daerah-daerah di
negeri ini. Kesenian-kesenian daerah seperti ludruk, ketoprak, wayang, gamelan,
dan tari menghadapi ancaman serius dari berkembangnya budaya pop khas Barat
yang semakin diminati masyarakat karena dianggap lebih modern. Budaya konvensional
yang menempatkan toleransi,
keramahtamahan, penghormatan pada yang lebih tua juga digempur oleh pergaulan
bebas dan sikap individualistik yang dibawa oleh arus globalisasi.
Dalam situasi demikian, kesalahan dalam
merespon globalisasi bisa berakibat pada lenyapnya budaya lokal. Kesalahan
dalam merumuskan strategi mempertahankan eksistensi budaya lokal juga bisa
mengakibatkan budaya lokal semakin ditinggalkan masyarakat yang kini kian
gandrung pada budaya yang dibawa arus globalisasi.
Dalam beberapa dekade belakangan,globalisasi
menjadi salah satu isu menarik di luar isu-isu lain seperti isu-isu tentang
keamanan dan lingkungan . Sebagai isu yang paling sering di bahas,globalisasi
menjadi sebuah fenomena yang menimbulkan
beraneka ragam praduga dan interprestasi, terutama ketika dikait-kaitkan dengan
kesejahteraan umat manusia di dunia. Ada pihak-pihak yang melihat bahwa
globalisasi adalah suatu keniscayaan sejarah yang akan membawa kemakmuran,
perdamaian, dan demokrasi bagi seluruh umat manusia namun ada juga pihak-pihak
yang meyakin bahwa gloablisasi akan
mengakibatkan lunturnya budaya dalam diri masyarakat (Budi Winarno, 2008).
Hal ini menjadi acuan kita sebagai masyarakat
yang memiliki unsur nilai-nilai budaya yang tinggi untuk tetap konsisten dengan
nilai budaya yang ada dengan menjaga jati diri budaya bangsa, sekaligus mampu
untuk menerima arus globalisasi yang baik dan membangun untuk kehidupan budaya
bangsa.
Globalisasi adalah suatu kelangsungan peradaban manusia yang bergerak terus
dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu.
Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi
proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi
menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dan
dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan.
Globalisasi sendiri merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar dua puluh
tahun yang lalu, dan mulai begitu populer sebagai ideologi baru sekitar lima
atau sepuluh tahun terakhir. globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal
masyarakat seluruh dunia. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu
mengubah dunia secara mendasar. Globalisasi sering diperbincangkan oleh banyak
orang.
Dalam kata globalisasi
tersebut mengandung suatu pengertian akan adanya satu situasi dimana berbagai
pergerakan barang dan jasa antar negara diseluruh dunia dapat bergerak bebas dan
terbuka dalam perdagangan. Dan dengan terbukanya satu negara terhadap negara
lain, yang masuk bukan hanya barang dan jasa, tetapi juga teknologi, pola
konsumsi, pendidikan, dan nilai budaya.
Dalam
hal ini globalisasi akan sangat bisa mempengaruhi nilai budaya suatu masyarakat
dengan keterbukaan yang terjadi antar Negara. Dengan terjadi hal yang demikian
maka setiap masyarakat ditantang untuk mampu mempertahankan nilai-nilai budaya
yang telah ada dan berkembang dimasyarakatnya.
Ujian terbesar yang dihadapi budaya lokal
adalah mempertahankan eksistensinya di tengah terpaan globalisasi.
Strategi-strategi yang jitu dalam menguatkan daya tahan budaya lokal perlu
dirumuskan.
Menghadapi
serbuan budaya asing. Perlahan tapi pasti, budaya lokal sepi peminat karena masyarakat
cenderung menggunakan budaya asing yang dianggap lebih modern. Ketika
permasalahan itu muncul, harus ada strategi untuk menangkalnya.
Strategi yang
paling tepat untuk menguatkan daya tahan budaya lokal adalah dengan menyerap
sisi-sisi baik dan unggul dari budaya asing untuk dikombinasikan dengan budaya
lokal sehingga ada perpaduan yang tetap mencitrakan budaya lokal.
Problematika yang
dihadapi budaya lokal di masa lalu jauh berbeda dibandingkan masa kini. Di masa
lampau, globalisasi telah terjadi dalam model yang berbeda Sejarah abad ke-5
mencatat, kemapanan budaya lokal yang merupakan akumulasi dari budaya
masyarakat di sekitarnya dimasuki tradisi dan budaya Hindu. Di abad ke-13,
tradisi muslim turut memasuki budaya lokal. Hal itu disikapi dengan proses
akulturasi yang wajar tanpa rekayasa sehingga melahirkan kebudayaan baru yang
bernuansa Hindu dan Islam yang khas Indonesia. Kolonialisme Belanda mulai abad
ke-16 mengeser budaya lokal untuk lebih dekat ke Barat.
Tetapi,
pergeseran itu tidak membuahkan perubahan berarti. Dalam kebudayaan Jawa
misalnya, strategi
budaya ’ngeli tanpa ngeli’ (menghanyut tetapi tidak ikut benar-benar
hanyut dalam menghadapi gelombang perubahan zaman) telah terbukti berhasil
menangkal arus budaya asing (Suryanti 2007).
Namun, situasi
masa lalu jelas berbeda dengan masa kini. Modus dan skala globalisasi telah berubah.
Sekarang, dunia mengalami Revolusi 4T (Technology, Telecomunication,
Transportation, Tourism) yang memiliki globalizing force dominan
sehingga batas antarwilayah semakin kabur dan berujung pada terciptanya global
village seperti yang pernah diprediksikan McLuhan (Saptadi 2008). Kondisi
itu memunculkan permasalahan pada melunturnya warisan budaya.
Bukti
nyata kelunturan warisan budaya itu antara lain dapat disaksikan pada gaya
berpakaian, gaya bahasa, dan teknologi informasi. Rok mini dipandang
lebih indah daripada pakaian rapat. Bahasa daerah, bahkan bahasa nasional,
tergeser oleh bahasa asing. Di berbagai kesempatan seringkali terlihat
masyarakat lebih senang menggunakan bahasa Inggris karena dipandang lebih
modern.
Pola konsumsi
masyarakat juga beralih pada makanan-makanan cepat saji (fastfood) yang
bisa
didapatkan di
restoran. Pizza, spaghetti, hamburger, fried chicken dianggap lebih menarik
daripada makanan lokal. Aneka makanan itu menawarkan kepraktisan. Masyarakat
menilai globalisasi telah mendorong terciptanya kecepatan, efisiensi,
efektivitas yang bermuara pada kepraktisan dalam segala hal. Tidak hanya dalam
makanan, budaya asing yang mengglobal juga menawarkan kepraktisan dalam berpakaian
dengan cukup mengenakan kemeja, kaos, celana dan rok. Sebaliknya, budaya lokal
dinilai terlalu rumit. Dalam kebudayaan asli Jawa, masyarakat dianjurkan
memakai beskap dan kebaya yang cara pemakaiannya memakan waktu lama (Suryanti
2007).
Pola semacam itu
menerapkan banyak aturan yang rumit. Persoalannya, aturan yang terlalu ketat sebagai
bagian dari sebuah ritual budaya dinilai membatasi kebebasan masyarakat.
Masyarakat yang terbawa arus globalisasi menginginkan adanya kebebasan dalam
berekspresi. Upacara-upacara ritual yang rumit dan mahal dianggap tak sejalan
dengan ekspresifitas yang ingin diungkapkan masyarakat.
Keinginan untuk
menabrak ritual itu tak bisa diakomodasi budaya lokal, tetapi dengan sangat
mudah fasilitasi budaya asing. Budaya asing tentu tak mengenal upacara ritual
dalam fase kehidupan seperti kelahiran, pernikahan, kehamilan, hingga
meninggal. Keinginan untuk tidak melakukan itu dikategorikan sebagai
pelanggaran. Di sisi lain, media elektronik selalu kebanjiran film-film
Mandarin, Bollywood, dan Hollywood. Tempat belanja lokal tidak memenuhi
kebutuhan, sehingga wisata belanja ke luar negeri membudaya, walaupun
membutuhkan biaya mahal. Itu artinya proses imitasi budaya asing akan terus
berlangsung. Di dalamnya ada upaya untuk menyeragamkan budaya yang tidak
memperhatikan heterogenitas antarbudaya.
Masalah
Homogenisasi Globalisasi Indonesia
merupakan salah satu pasar potensial bagi pencapaian tujuan homogenisasi
global. Sebagai negara berkembang yang tidak memiliki daya kompetitif tinggi
dan posisi tawar setara dengan negara-negara maju, Indonesia menghadapi ancaman
serius globalisasi terhadap identitas kultural. Di masa lalu, ketika perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi tidak sepesat sekarang, nilai-nilai
identitas kultural Indonesia masih dipegang secara kuat oleh masyarakat. Tetapi
kini, ketika nilai-nilai identitas asing dengan mudah dan cepat masuk ke rumah-rumah
penduduk melalui transformasi informasi, nilai-nilai identitas kultural
Indonesia tampak terkikis.(Safril mubah, 2011)
Tidak dapat
dibantah, arus globalisasi yang berjalan dengan cepat menjadi ancaman bagi
eksistensi budaya lokal. Penggerusan nilai-nilai budaya lokal merupakan resiko
posisi Indonesia sebagai bagian dari komunitas global. Globalisasi adalah
keniscayaan yang tidak dapat dicegah, tetapi efeknya yang mampu mematikan
budaya lokal tidak boleh dibiarkan begitu saja. Budaya lokal perlu memperkuat
daya tahannya dalam menghadapi globalisasi budaya asing. Ketidakberdayaan dalam
menghadapinya sama saja dengan membiarkan pelenyapan atas sumber identitas
lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal. Memang, globalisasi harus disikapi
dengan bijaksana sebagai hasil positif dari modenisasi yang mendorong
masyarakat pada kemajuan. Namun, para pelaku budaya lokal tidak boleh lengah
dan terlena karena era keterbukaan dan kebebasan itu juga menimbulkan pengaruh
negatif yang akan merusak budaya bangsa. Menolak globalisasi bukanlah pilihan
tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karena itu, yang dibutuhkan adalah strategi untuk meningkatkan daya tahan
budaya lokal dalam menghadapinya. Berikut ini adalah strategi yang bisa
dijalankan.
Terdapat beberapa gerakan yang dilakukan untuk
menjadi penyeimbang globalisasi, contohnya melalui gerakan kembali kedesa,
kembali kelokal, gerakan kembali kealam, gerakan kembali kekebun, sampai
gerakan kembali kemusholah. Ini adalah bentuk-bentuk gerakan untuk menampilkan
apa yang selama ini menjadi dominasi
globalisasi dengan kultur ysng dianggap nyaris universal. Makanan, minuman,
model pakaian, tontonan dst. Dilawan dengan gerakan antiminuman global, anti
model pakaian global, sampai menghadiri tontonan lokal tanpa mengedepankan
tontonan global (jatilan dan reog,
rebana, gandrung banyuwangen, ronggeng, dst) adalah sala satu yang dianggap
lokal. Keinginan kembali keakar atau kelokal adalah satu ekspresikebudayaan
yang secara substantial bisa dikatakan sebagai kultur perlawanan atas budaya
dominan yang mengendus keseluruh kehidupan umat manusia. (Zuly qadir,2010
;159-160)
Upaya-upaya
pembangunan jati diri bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya penghargaan pada nilai
budaya dan bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan dan rasa cinta
tanah air dirasakan semakin memudar. Budaya lokal yang lebih sesuai dengan
karakter bangsa semakin sulit ditemukan, sementara itu budaya global lebih
mudah merasuk. Selama ini yang terjaring oleh masyarakat hanyalah gaya hidup
yang mengarah pada westernisasi, bukan pola hidup modern. Karena itu, jati diri
bangsa sebagai nilai identitas masyarakat harus dibangun secara kokoh dan diinternalisasikan
secara mendalam. Caranya, dengan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal sejak
dini kepada generasi muda. Pendidikan memegang peran penting di sini sehingga
pengajaran budaya perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional dan
diajarkan sejak sekolah dasar. Harus dipahami, nilai-nilai kearifan lokal
bukanlah nilai usang yang ketinggalan zaman sehingga ditinggalkan, tetapi dapat
bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang dibawa
globalisasi. Dunia internasional sangat menuntut demokrasi, hak asasi manusia,
lingkungan
hidup menjadi
agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan
aktualisasi dari
filosofi budaya ‘hamemayu hayuning bawana’ yang mengajarkan masyarakat
untuk berbersikap dan berperilaku yang selalu mengutamakan harmoni,
keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam,
manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan dalam melaksanakan hidup dan
kehidupan agar negara menjadi panjang, punjung, gemah ripah loh
jinawi, karta tur raharja (Suryanti 2007). Hamemayu hayuning bawana dapat
direalisasikan dengan ‘hamemasuh memalaning Bumi’, yaitu membersihkan
atau mengamankan tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak asasi manusia. ”Memalaning
Bumi” itu dapat berupa peperangan, penghapusan etnis, penyalahgunaan obat
bius, penggunaan senjata pemusnah masal, terorisme, wabah penyakit, pembakaran
hutan, dan lain-lain yang membahayakan kehidupan manusia dan alam lingkungan. Rasio
dan kreatifitas Barat dapat bersinergi dengan ‘hangengasah mingising budi’,
yang menggambarkan upaya yang tidak berhenti untuk mempertajam budi/manusia
sehingga semakin tajam dari waktu ke waktu. Budi manusia yang terasah akan
selalu menghasilkan hal-hal yang bersifat baik bahkan luhur dalam wujud hasrat
sampai dengan perbuatan atau karya-karyanya (Suryanti 2007).
Dalam hal ini
diharapkan manusia dapat melahirkan pemikiran-pemikiran atau hasrat baik atau
luhur secara terus menerus guna disumbangkan bagi kepentingan manusia atau bebrayan
agung termasuk untuk melindungi atau melestarikan dunia seisinya.
Etos kerja dan
profesionalisme dapat sinergi dengan filosofi ‘sepi ing pamrih rame ing gawe’
(giat bekerja tanpa memikirkan diri sendiri). Terbangunnya kondisi damai dalam
menjalin hubungan dengan negara-negara lain sehingga tercipta stabilitas
keamanan dari tingkat sub regional, regional bahkan di dunia seyogyanya dicapai
dengan aplikasi konsep ‘nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake’ (Suryanti 2007). Globalisasi
yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan pembangunan budaya yang berkarakter
penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar pijakan
dalampenyusunan strategi dalam pelestarian dan pengembangan budaya. Upaya
memperkuat jati diri daerah dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai
budaya dan kesejarahan senasib sepenanggungan di antara warga. Karena itu,
perlu dilakukan revitalisasi budaya daerah dan penguatan budaya daerah. Pembangunan
budaya yang berkarakter pada penguatan jati diri mempunyai karakter dan sifat interdependensi
atau memiliki keterkaitan lintas sektoral, spasial, struktural multidimensi, interdisipliner,
bertumpu kepada masyarakat sebagai kekuatan dasar dengan memanfaatkan potensi sumber
daya pemerataan yang tinggi. Karakter pembangunan budaya tersebut secara
efektif merangkul dan menggerakkan seluruh elemen dalam menghadapi era
globalisasi yang membuka proses lintas budaya (transcultural) dan silang
budaya (cross cultural) yang secara berkelanjutan akan mempertemukan
nilai-nilai budaya satu dengan lainnya .
Sebagai tindak
lanjut pembangunan jati diri bangsa pemahaman atas falsafah budaya lokal harus
dilakukan. Langkah ini harus dijalankan sesegera mungkin ke semua golongan dan
semua usia berkelanjutan dengan menggunakan bahasa-bahasa local dan nasional
yang di dalamnya mengandung nilai-nilai khas lokal yang memperkuat budaya
nasional. Karena itu, pembenahan dalam pembelajaran bahasa lokal dan bahasa
nasional mutlak dilakukan. Langkah penting untuk melakukannya adalah dengan
meningkatkan kualitas pendidik dan pemangku budaya secara berkelanjutan.
Pendidik yang berkompeten dan pemangku budaya yang menjiwai nilai-nilai
budayanya adalah aset penting dalam proses pemahaman falsafah budaya. Pemangku
budaya tentunya juga harus mengembangkan kesenian tradisional. Penggalakan pentas-pentas
budaya di berbagai wilayah mutlak dilakukan. Penjadwalan rutin kajian budaya
dan kajian falsafah budaya juga tidak boleh dilupakan. Tetapi, semua itu tidak
akan menimbulkan efek meluas tanpa adanya penggalangan jejaring antarpengembang
kebudayaan di berbagai daerah. Jejaring itu juga harus diperkuat oleh
peningkatan peran media cetak, elektronik dan visual dalam mempromosikan budaya
lokal. Dalam melakukan itu, semua pihak harus dilibatkan. Pemerintah, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), kelompok masyarakat, pemerhati budaya, akademisi, dan
pengusaha harus menyinergikan diri untuk bekerja sama secara konstruktif dalam
pengembangan budaya. Mereka yang berjasa besar harus diberikan apresiasi sebagai
penghargaan atas dedikasinya.
Keberhasilan
budaya asing masuk ke Indonesia dan memengaruhi perkembangan budaya local disebabkan
oleh kemampuannya dalam memanfaatkan kemajuan teknologi informasi secara maksimal.
Di era global, siapa yang menguasai teknologi informasi memiliki peluang lebih
besar dalam menguasai peradaban dibandingkan yang lemah dalam pemanfaatan
teknologi informasi. Karena itu, strategi yang harus dijalankan adalah
memanfaatkan akses kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai
pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal.
Budaya lokal yang
khas dapat menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah tinggi apabila disesuaikan
dengan perkembangan media komunikasi dan informasi. Harus ada upaya untuk menjadikan
media sebagai alat untuk memasarkan budaya lokal ke seluruh dunia. Jika ini
bisa dilakukan, maka daya tarik budaya lokal akan semakin tinggi sehingga dapat
berpengaruh pada daya tarik lainnya, termasuk ekonomi dan investasi. Untuk itu,
dibutuhkan media bertaraf nasional dan internasional yang mampu meningkatkan
peran kebudayaan lokal di pentas dunia.
Globalisasi bukanlah
hanya sebuah wacana belaka, karena kini globalisasi sangat begitu mudah untuk
terus berkembang meluas keseluruh penjuru dunia. kesadaran untuk
mempertahankan unsur-unsur lokal juga menguat. Jargon, “Think Globally, Do
Locally telahmenyadarkan banyak orang tentang pentingnya menguatkan
identitas budaya kelokalan sebagai modal untuk berkiprah di dunia global (masrukin).
KESIMPULAN
Globalisasi adalah sebuah kondisi tak
terelakkan yang harus disikapi secara strategis oleh semua negara, termasuk
Indonesia. Prosesnya yang menyebar ke segala arah menembus batas wilayah negara
bangsa mendorong terciptanya lalu lintas budaya lokal yang kemudian
bermetamorfosis menjadi budaya yang dianut masyarakat global. Akibatnya, budaya
lokal menghadapi ancaman serius dari budaya asing yang mampu secara cepat masuk
ke dinamika kehidupan masyarakat lokal melalui media komunikasi dan informasi.
Kedua, sebagai negara berkembang, Indonesia
menghadapi persoalan terkait kemampuan budayanya dalam menahan penetrasi budaya
asing. Kelemahan penguasaan teknologi komunikasi dan informasi serta pasar yang
luas menjadikan Indonesia sebagai target potensial bagi budaya negaranegara
maju. Problematika yang muncul adalah melunturnya warisan budaya yang telah
puluhan tahun ditradisikan oleh leluhur. Tradisi budaya asli tergeser oleh
tradisi budaya baru yang dipromosikan negara-negara maju.
Ketiga, menyikapi problematika itu, dibutuhkan
strategi yang tepat agar budaya lokal tidak semakin tergerus oleh budaya asing
dan secara perlahan berpotensi melenyapkan. Strategi yang bisa dijalankan
adalah pembangunan jati diri bangsa untuk memperkokoh identitas kebangsaan,pemahaman
falsafah budaya kepada seluruh kalangan masyarakat, penerbitan peraturan daerah
yang melindungi budaya lokal, dan memanfaatkan teknologi informasi untuk
mengenalkan budaya lokal ke masyarakat dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Masrukin.
Lokalisme VS Globalisasi.Purwokerto : Universitas Jendral
Soedirman
Mubah, Safril
(2011) Revitalisasi
Identitas Kultural Indonesiadi Tengah Upaya Homogenisasi Global. Surabaya:
global&strategis
Suryanti,
E (2007) Antisipasi Strategis Perang Nilai Budaya Lokal di Area Global.
Yogyakarta:
Bappeda Provinsi DIY.
Saptadi,
KY (2008) Membaca Globalisasi dalam Kaca Mata Perang Budaya. Makalah Seminar
Globalisasi, Seni, dan Moral Bangsa di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, 25
Maret.
Qodir,
Zuly (2010) Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Abad Kedua.
Yogyakarta: kanisius
Winarno, Budi
(2008) Globalisasi Peluang Atau Ancaman Bagi Indonesia. Jakarta: Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar